“Kak, boleh saya melihat lihat organisasi itu?
Kata teman saya Kak, diluar kampus organisasi itu bagus?”
Tanya sang mahasiswa baru (maba).
“Jangan
Dek! Organisasi itu sesat, beraliran … (ini itu dsb yang belum tentu
benar). Kamu bisa kafir nanti masuk di dalamnya. Hati-hati lho!”
Jawab kakak kelas yang masuk organisasi lain dengan common sense-nya (penguatan data yang tidak terbukti secara akademis).
Ada apa dengan dialog tersebut?
Begitulah realitas dunia mahasiswa. Mahasiswa
memang merupakan tumpuan dari pundi-pundi keumatan yang mencakup peran
negara dan bangsa. Dipundak mereka nantinya diamanatkan tentang nasib
kondisi pundi-pundi tersebut. Untuk memikulnya, tentu memerlukan proses
yang baik lagi berdaya tarik skeptis. Dalam istilah filsafat, skeptis
adalah meragukan atau menanyakan tentang sesuatu yang didapatkannya
sampai sesuatu yang bersifat ‘pengetahuan’ tersebut menjadi lebih pasti
dan tidak teragukan lagi (Bertrand Russel, dalam Theory of Knowledge;
1926). Permisalan pertanyaan diatas mengenai pertanyaan seputar
organisasi kepada kakak kelas yang dipercayainya, belum tentu memberikan
jawaban yang benar, karena kecenderungan hal yang terjadi ialah kakak kelas tersebut akan memasukkan adik kelasnya kedalam organisasinya.
Permisalan
dialog kakak kelas dan adik kelas diatas, itu sering didapati oleh
kalangan maba. Maba yang menjadi regenerasi dari komoditas akademis,
budaya, dan politik dari organisasi menjadi terbunuh kreatifitasnya
dengan jawaban-jawaban semisal sesat. Ibaratkan anak
kecil, dalam ilmu psikologi (Desmita, dalam Psikologi Perkembangan;
2007), kita dilarang berkata jangan bagi mereka yang membutuhkan arahan
sementara usia mental belum mencukupi. Usia mental yang belum mencukupi
ini bisa dimisalkan dengan adik-adik maba. Maba yang seharusnya menjadi
tempat saling belajar dan dibimbing secara kreatifitasnya, tidak
selayaknya dimatikan potensinya dengan jawaban-jawaban yang kurang
memiliki karakter, apalagi karakter akademik. Dunisa mahasiswa adalah
pertanggungjawaban atas apa yang diucapkan, kemudian bagaimana
mempertanggungjawabkannya nanti secara baik, kritis, mendalam, dan tau
(bukan sekedar hipokrit alias berbicara tanpa diimbangi
pelaksanaan). Bak mereka para koruptor, yang selalu berkata ‘saya tidak
korupsi’ padahal mereka korupsi. Bibit-bibit yang mencoba menuai hasil
dari pembunuhan potensi kreatifitas tersebut setidaknya dihindari. Ya,
kami mengira para pembaca yang budiman sudah mengetahui organisasi
semacam itu baik atau tidak setelah kita bicarakan disini, apalagi yang
ditawarkan adalah kekuasaan semata semisal ‘BEM’. Kenapa kursi kekuasaan
kurang baik untuk ditawarkan? Sebab untuk memasuki kursi kekuasaan politis tersebut, perlu diimbangi dengan tahap akademis dulu,
bukan diiming-imingi secara langsung bahwa maba yang masuk organisasi
tertentu itu pasti masuk BEM. Ahirnya yang terjadi ialah penanaman
budaya ideologi pragmatis, seperti kebanyakan pemimpin negeri ini yang
menginginkan kekuasaan nantinya, sehingga mengabaikan pesan-pesan rakyat
karena berada di kursi kekuasaan bukan atas aspirasi murni dari rakyat
melainkan keinginan.
Apa yang mesti dilakukan?
Pertanyaan
mendasar tersebut dijawab oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang
bersama Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM) dan mantan
Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, saat mengisi acara Dialog Pendidikan
Nasional yang diadakan HMI di hall room teaching UM
dua hari yang lalu, “Iklim dunia pendidikan ketika mereka bekerja kelak
atau digunakan di masyarakat, ibarat sopir yang melamar pekerjaan
kepada Anda. Sopir tersebut menyertakan sertifikat berupa kursus mobil,
lulusan ini itu, dan puluhan sertifikat yang seolah menjanjikan. Yang
Anda lihat demi kenyamanan Anda merekrut supir tentu bukan sertifikatnya
melainkan Anda serahkan kunci tersebut kepada sang calon supir tersebut
untuk dikendalikan secara langsung. Apakah ketika calon supir tersebut
menabrakkan mobil Anda? Atau kah dia mampu menguasai mobil dengan baik
dihadapan Anda?”
Ya,
tindak lanjut dari pengetahuan adalah praktek. Dalam praktek inilah
dibutuhkan dunia organisasi, yang melatih setiap orang terlebih
mahasiswa untuk mengamalkan ilmunya, memanage orang lain untuk belajar
menjadi pelopor, bukan pengekor,
kemudian berlatih bermasyarakat yang ini mendukung proses akademik, dan
berdaya kritis sehingga bermanfaat bagi umat dan bangsa nantinya. Go A
Head.