Rabu, 26 September 2012

Berorganisasi bagi Mahasiswa Baru (MABA)…Pentingkah?


 
“Kak, boleh saya melihat lihat organisasi itu?
Kata teman saya Kak, diluar kampus organisasi itu bagus?”
Tanya sang mahasiswa baru (maba).
“Jangan Dek! Organisasi itu sesat, beraliran … (ini itu dsb yang belum tentu benar). Kamu bisa kafir nanti masuk di dalamnya. Hati-hati lho!”
Jawab kakak kelas yang masuk organisasi lain dengan common sense-nya (penguatan data yang tidak terbukti secara akademis).
Ada apa dengan dialog tersebut?
Begitulah realitas dunia mahasiswa. Mahasiswa memang merupakan tumpuan dari pundi-pundi keumatan yang mencakup peran negara dan bangsa. Dipundak mereka nantinya diamanatkan tentang nasib kondisi pundi-pundi tersebut. Untuk memikulnya, tentu memerlukan proses yang baik lagi berdaya tarik skeptis. Dalam istilah filsafat, skeptis adalah meragukan atau menanyakan tentang sesuatu yang didapatkannya sampai sesuatu yang bersifat ‘pengetahuan’ tersebut menjadi lebih pasti dan tidak teragukan lagi (Bertrand Russel, dalam Theory of Knowledge; 1926). Permisalan pertanyaan diatas mengenai pertanyaan seputar organisasi kepada kakak kelas yang dipercayainya, belum tentu memberikan jawaban yang benar, karena kecenderungan hal yang terjadi ialah kakak kelas tersebut akan memasukkan adik kelasnya kedalam organisasinya.
Permisalan dialog kakak kelas dan adik kelas diatas, itu sering didapati oleh kalangan maba. Maba yang menjadi regenerasi dari komoditas akademis, budaya, dan politik dari organisasi menjadi terbunuh kreatifitasnya dengan jawaban-jawaban semisal sesat. Ibaratkan anak kecil, dalam ilmu psikologi (Desmita, dalam Psikologi Perkembangan; 2007), kita dilarang berkata jangan bagi mereka yang membutuhkan arahan sementara usia mental belum mencukupi. Usia mental yang belum mencukupi ini bisa dimisalkan dengan adik-adik maba. Maba yang seharusnya menjadi tempat saling belajar dan dibimbing secara kreatifitasnya, tidak selayaknya dimatikan potensinya dengan jawaban-jawaban yang kurang memiliki karakter, apalagi karakter akademik. Dunisa mahasiswa adalah pertanggungjawaban atas apa yang diucapkan, kemudian bagaimana mempertanggungjawabkannya nanti secara baik, kritis, mendalam, dan tau (bukan sekedar hipokrit alias berbicara tanpa diimbangi pelaksanaan). Bak mereka para koruptor, yang selalu berkata ‘saya tidak korupsi’ padahal mereka korupsi. Bibit-bibit yang mencoba menuai hasil dari pembunuhan potensi kreatifitas tersebut setidaknya dihindari. Ya, kami mengira para pembaca yang budiman sudah mengetahui organisasi semacam itu baik atau tidak setelah kita bicarakan disini, apalagi yang ditawarkan adalah kekuasaan semata semisal ‘BEM’. Kenapa kursi kekuasaan kurang baik untuk ditawarkan? Sebab untuk memasuki kursi kekuasaan politis tersebut, perlu diimbangi dengan tahap akademis dulu, bukan diiming-imingi secara langsung bahwa maba yang masuk organisasi tertentu itu pasti masuk BEM. Ahirnya yang terjadi ialah penanaman budaya ideologi pragmatis, seperti kebanyakan pemimpin negeri ini yang menginginkan kekuasaan nantinya, sehingga mengabaikan pesan-pesan rakyat karena berada di kursi kekuasaan bukan atas aspirasi murni dari rakyat melainkan keinginan.
Apa yang mesti dilakukan?
Pertanyaan mendasar tersebut dijawab oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang bersama Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM) dan mantan Kepala Dinas Pendidikan Kaltim, saat mengisi acara Dialog Pendidikan Nasional yang diadakan HMI di hall room teaching UM dua hari yang lalu, “Iklim dunia pendidikan ketika mereka bekerja kelak atau digunakan di masyarakat, ibarat sopir yang melamar pekerjaan kepada Anda. Sopir tersebut menyertakan sertifikat berupa kursus mobil, lulusan ini itu, dan puluhan sertifikat yang seolah menjanjikan. Yang Anda lihat demi kenyamanan Anda merekrut supir tentu bukan sertifikatnya melainkan Anda serahkan kunci tersebut kepada sang calon supir tersebut untuk dikendalikan secara langsung. Apakah ketika calon supir tersebut menabrakkan mobil Anda? Atau kah dia mampu menguasai mobil dengan baik dihadapan Anda?”
Ya, tindak lanjut dari pengetahuan adalah praktek. Dalam praktek inilah dibutuhkan dunia organisasi, yang melatih setiap orang terlebih mahasiswa untuk mengamalkan ilmunya, memanage orang lain untuk belajar menjadi pelopor, bukan pengekor, kemudian berlatih bermasyarakat yang ini mendukung proses akademik, dan berdaya kritis sehingga bermanfaat bagi umat dan bangsa nantinya. Go A Head.

Comments
0 Comments

0 komentar:

 
Design by Alim Yuandia | Bloggerized by Indonesia Negriku | Alim Yuandia
Kode Follower supported by Tutorial Blog
^ Scroll to Top