Bahasa
itu dinamis. Penyerapan bahasa-termasuk juga bahasa Indonesia-merupakan
keniscayaan yang telah berlangsung lama. Kemunculan awal bahasa
Indonesia tak lepas dari budaya serap masyarakat Melayu terhadap bahasa
serumpun. Sebut saja beberapa kata misalnya: tanpa (jawa), godok (jawa dan sunda), karsa (jawa), gembleng (jawa), sarjana (jawa), wejangan (jawa), kolot (sunda), dan nyeri
(sunda). Bahasa rumpun Melayu yang ada di wilayah Indonesia sangat
besar pengaruhnya dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Induk
bahasa Indonesia (Melayu Riau) telah mengalami perkembangan yang pesat
waktu demi waktu hingga kita temukan sekarang ini. Dalam perkembangan
bahasa selanjutnya, proses penyerapan juga dipengaruhi dari bahasa
asing. Sebut saja bahasa Inggris dan Belanda. Misalnya kata administrasi (Belanda: administratie), kapten (Belanda: kapitein), pipa (Belanda: pijp), kalkulator (Inggris: calculator), helm (Inggris: helmet), sains (Inggris: scence).
Globalisasi
juga menyebabkan adanya hierarki kebahasaan. Bahasa dan masyarakat
adalah dua hal yang tak terpisahkan. Selain berfungsi sebagai alat
komunikasi, bahasa tak bisa lepas dari nuansa politik ideologis.
Misalnya keberhasilan hegemoni Barat atas Turki tampak oleh kebijakan
pendidikan nasional negara itu pada tahun 1928 dengan dihapuskannya
pelajaran bahasa Arab dan Persia di sekolah-sekolah. Efek globalisasi memberi peluang munculnya alasan politik, ekonomi dan kekuasaan kepada terjadinya proses saling serap
antar berbagai bahasa manapun di dunia. Pola interaksi yang didekatkan
oleh praktisnya telekomunikasi antar benua semakin mendorong terjadinya
akulturasi budaya yang pada akhirnya merambah ke ranah bahasa. Muncul
hegemoni bahasa yang secara tidak langsung meminggirkan posisi bahasa
Indonesia, bahkan oleh warga Indonesia sendiri.
Pada
masa dulu, sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928,
bahasa Indonesia dianggap sebagai solusi final yang bisa menyatukan
keragaman suku dan bahasa yang ada di seluruh wilayah NKRI. Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (tahun 2008)
telah mengidentifikasi 442 bahasa daerah di Indonesia. Dari keragaman
itu, bahasa Indonesia masih tetap memegang fungsinya sebagai sarana
komunikasi yang menyatukan bangsa Indonesia.
Namun,
dewasa ini praktik penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi
sehari-hari (baik lisan ataupun tertulis), telah mengalami perkembangan
yang super cepat dan bahkan bisa dibilang melenceng jauh dari aturan
ketatabahasaan yang dicanangkan pemerintah (EYD). Lihat saja bagaimana
cara orang Jakarta berbahasa Indonesia. Atau media televisi yang tak
sungkan menyajikan tayangan yang jauh dari aturan bahasa. Mulai dari
bahasa prokem (bahasa gaul) yang tenar pada tahun 1999 hingga bahasa alay yang sedang in belakangan ini, yang merasuk mayoritas pemuda
Indonesia turut memperparah penggunaan bahasa Indonesia secara
semena-mena. Jika gelombang penyimpangan berbahasa ini dibiarkan terus
menerus, dikhawatirkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa akan
kehilangan keorisinilannya. Penggunaan dan perkembangan bahasa yang
membabi buta justru bisa membawa bahasa Indonesia jauh dari bentuk
aslinya (baku).
Hal ini juga selaras dengan definisi kesalahan berbahasa oleh Tarigan yang
mengungkapkan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah penggunaan
bahasa Indonesia secara lisan maupun tertulis, yang berada di luar atau
menyimpang dari faktor-faktor komunikasi dan kaidah kebahasaan dalam
bahasa Indonesia. Berbeda dengan kekeliruan berbahasa (mistake) yang temporer dan bisa dimaafkan, kesalahan berbahasa (error)
bersifat massal, akut dan cenderung sulit diperbaiki. Baik dalam
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, wacana atau semantik. Biasanya
terjadi karena penyimpangan kaidah bahasa.
Kalau sudah demikian, betapa repotnya orang-orang yang mengurusi bahasa dan mengidentifikasi kaidah bahasa berikut kosakatanya. Dalam pengantar Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008) PT Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit mengatakan bahwa KBBI
sejak terbit pertama kali tahun 1988 telah mengalami penambahan lema
yang sangat banyak dan bahkan dapat dikategorikan penambahan yang
fantastis. Jumlah seluruh data yang dimasukkan pada edisi keempat adalah 90.000 lema (masukan data berupa kata).
Celakanya lagi, hegemoni kapitalisme yang merongrong eksistensi bahasa induk, diperparah dengan berkembangnya
stigma yang merendahkan bahasa nasional yang ditampilkan oleh berbagai
media di tanah air. Para pejabat dan artis gemar mengucapkan
kalimat-kalimat berbau asing-misalnya bahasa Inggris-atau penggunaan
bahasa Indonesia yang salah kaprah-dan tidak ada yang memprotes tentang
hal itu-yang akan menaikkan derajat mereka di mata khalayak. Dan
paradigma yang berkembang mengiyakan hal itu. Akankah kita
kembali kehilangan identitas bangsa yang dulu dibangga-banggakan? Kapan
bahasa Indonesia akan diakui kalangan Internasional? Beberapa dekade
lalu kita banyak mengirim guru dan dosen bahasa Indonesia untuk mengajar
di kampus-kampus luar negeri. Universitas di Australia, Belanda, Jerman
dan Ukraina membuka program S-1 dan S-2 bahasa Indonesia. Namun setelah
bom bali peminat bahasa Indonesia turun drastis. Siapa lagi yang
membangkitkannya?
Melihat berbagai hal diatas, seharusnya kita aware bahwa tugas mempertahankan identitas murni bangsa bukan hanya di tangan pemerintah. Apalagi
selama ini langkah strategis yang dijalankan kurang massif pengaruhnya.
Perlu ada langkah berkesinambungan dari berbagai pihak untuk
mempelopori upaya pengembalian kemurnian bahasa Indonesia. Langkah
berikut bisa dijadikan acuan. Pertama, peran pemerintah (Badan
Bahasa atau instansi lainnya) agar lebih aktif mensosialisasikan
penggunaan bahasa yang baik dan benar secara massal dan kontinyu. Bukan
hanya dengan Kongres Bahasa yang ‘cuma’ diadakan lima tahun
sekali. Bila perlu buat regulasi penggunaan bahasa Indonesia di
berbagai wilayah komunikasi massa baik lisan atau tulisan.
Kedua,
media massa harus memberikan teladan yang baik dan benar dalam
penggunaan bahasa Indonesia sebagai model yang bisa menjadi pembelajaran
masyarakat dalam rangka tanggung jawab sosialnya. Dalam arus jaman yang
semakin melek teknologi, media merupakan alat belajar paling vital bagi
masyarakat sekarang ini.Ketiga, kalangan intelektual dan kaum
cendekiawan harus aktif dan berperan serta dalam
membimbing dan mengajak masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia
yang sesuai kaidah ketatabahasaan sehingga mereka tahu dan dengan
sendirinya akan terbiasa. Masih banyak langkah strategis lain yang bisa
diambil. Namun ini bisa jadi contoh agar bahasa Indonesia tetap lestari.