Rabu, 26 September 2012

Bahasa Indonesia Kita: Orisinil Apa KW?

Bahasa itu dinamis. Penyerapan bahasa-termasuk juga bahasa Indonesia-merupakan keniscayaan yang telah berlangsung lama. Kemunculan awal bahasa Indonesia tak lepas dari budaya serap masyarakat Melayu terhadap bahasa serumpun. Sebut saja beberapa kata misalnya: tanpa (jawa), godok (jawa dan sunda), karsa (jawa), gembleng (jawa), sarjana (jawa), wejangan (jawa), kolot (sunda), dan nyeri (sunda). Bahasa rumpun Melayu yang ada di wilayah Indonesia sangat besar pengaruhnya dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Induk bahasa Indonesia (Melayu Riau) telah mengalami perkembangan yang pesat waktu demi waktu hingga kita temukan sekarang ini. Dalam perkembangan bahasa selanjutnya, proses penyerapan juga dipengaruhi dari bahasa asing. Sebut saja bahasa Inggris dan Belanda. Misalnya kata administrasi (Belanda: administratie), kapten (Belanda: kapitein), pipa (Belanda: pijp), kalkulator (Inggris: calculator), helm (Inggris: helmet), sains (Inggris: scence).
Globalisasi juga menyebabkan adanya hierarki kebahasaan. Bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang tak terpisahkan. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa tak bisa lepas dari nuansa politik ideologis. Misalnya keberhasilan hegemoni Barat atas Turki tampak oleh kebijakan pendidikan nasional negara itu pada tahun 1928 dengan dihapuskannya pelajaran bahasa Arab dan Persia di sekolah-sekolah. Efek globalisasi memberi peluang munculnya alasan politik, ekonomi dan kekuasaan kepada terjadinya proses saling serap antar berbagai bahasa manapun di dunia. Pola interaksi yang didekatkan oleh praktisnya telekomunikasi antar benua semakin mendorong terjadinya akulturasi budaya yang pada akhirnya merambah ke ranah bahasa. Muncul hegemoni bahasa yang secara tidak langsung meminggirkan posisi bahasa Indonesia, bahkan oleh warga Indonesia sendiri.
Pada masa dulu, sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia dianggap sebagai solusi final yang bisa menyatukan keragaman suku dan bahasa yang ada di seluruh wilayah NKRI. Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (tahun 2008) telah mengidentifikasi 442 bahasa daerah di Indonesia. Dari keragaman itu, bahasa Indonesia masih tetap memegang fungsinya sebagai sarana komunikasi yang menyatukan bangsa Indonesia.
Namun, dewasa ini praktik penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari (baik lisan ataupun tertulis), telah mengalami perkembangan yang super cepat dan bahkan bisa dibilang melenceng jauh dari aturan ketatabahasaan yang dicanangkan pemerintah (EYD). Lihat saja bagaimana cara orang Jakarta berbahasa Indonesia. Atau media televisi yang tak sungkan menyajikan tayangan yang jauh dari aturan bahasa. Mulai dari bahasa prokem (bahasa gaul) yang tenar pada tahun 1999 hingga bahasa alay yang sedang in belakangan ini, yang merasuk mayoritas pemuda Indonesia turut memperparah penggunaan bahasa Indonesia secara semena-mena. Jika gelombang penyimpangan berbahasa ini dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa akan kehilangan keorisinilannya. Penggunaan dan perkembangan bahasa yang membabi buta justru bisa membawa bahasa Indonesia jauh dari bentuk aslinya (baku).
Hal ini juga selaras dengan definisi kesalahan berbahasa oleh Tarigan yang mengungkapkan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa Indonesia secara lisan maupun tertulis, yang berada di luar atau menyimpang dari faktor-faktor komunikasi dan kaidah kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan kekeliruan berbahasa (mistake) yang temporer dan bisa dimaafkan, kesalahan berbahasa (error) bersifat massal, akut dan cenderung sulit diperbaiki. Baik dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, wacana atau semantik. Biasanya terjadi karena penyimpangan kaidah bahasa.
Kalau sudah demikian, betapa repotnya orang-orang yang mengurusi bahasa dan mengidentifikasi kaidah bahasa berikut kosakatanya. Dalam pengantar Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008) PT Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit mengatakan bahwa KBBI sejak terbit pertama kali tahun 1988 telah mengalami penambahan lema yang sangat banyak dan bahkan dapat dikategorikan penambahan yang fantastis. Jumlah seluruh data yang dimasukkan pada edisi keempat adalah 90.000 lema (masukan data berupa kata).
Celakanya lagi, hegemoni kapitalisme yang merongrong eksistensi bahasa induk, diperparah dengan berkembangnya stigma yang merendahkan bahasa nasional yang ditampilkan oleh berbagai media di tanah air. Para pejabat dan artis gemar mengucapkan kalimat-kalimat berbau asing-misalnya bahasa Inggris-atau penggunaan bahasa Indonesia yang salah kaprah-dan tidak ada yang memprotes tentang hal itu-yang akan menaikkan derajat mereka di mata khalayak. Dan paradigma yang berkembang mengiyakan hal itu. Akankah kita kembali kehilangan identitas bangsa yang dulu dibangga-banggakan? Kapan bahasa Indonesia akan diakui kalangan Internasional? Beberapa dekade lalu kita banyak mengirim guru dan dosen bahasa Indonesia untuk mengajar di kampus-kampus luar negeri. Universitas di Australia, Belanda, Jerman dan Ukraina membuka program S-1 dan S-2 bahasa Indonesia. Namun setelah bom bali peminat bahasa Indonesia turun drastis. Siapa lagi yang membangkitkannya?
Melihat berbagai hal diatas, seharusnya kita aware bahwa tugas mempertahankan identitas murni bangsa bukan hanya di tangan pemerintah. Apalagi selama ini langkah strategis yang dijalankan kurang massif pengaruhnya. Perlu ada langkah berkesinambungan dari berbagai pihak untuk mempelopori upaya pengembalian kemurnian bahasa Indonesia. Langkah berikut bisa dijadikan acuan. Pertama, peran pemerintah (Badan Bahasa atau instansi lainnya) agar lebih aktif mensosialisasikan penggunaan bahasa yang baik dan benar secara massal dan kontinyu. Bukan hanya dengan Kongres Bahasa yang ‘cuma’ diadakan lima tahun sekali. Bila perlu buat regulasi penggunaan bahasa Indonesia di berbagai wilayah komunikasi massa baik lisan atau tulisan.
Kedua, media massa harus memberikan teladan yang baik dan benar dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai model yang bisa menjadi pembelajaran masyarakat dalam rangka tanggung jawab sosialnya. Dalam arus jaman yang semakin melek teknologi, media merupakan alat belajar paling vital bagi masyarakat sekarang ini.Ketiga, kalangan intelektual dan kaum cendekiawan harus aktif dan berperan serta dalam membimbing dan mengajak masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah ketatabahasaan sehingga mereka tahu dan dengan sendirinya akan terbiasa. Masih banyak langkah strategis lain yang bisa diambil. Namun ini bisa jadi contoh agar bahasa Indonesia tetap lestari.

Comments
0 Comments

0 komentar:

 
Design by Alim Yuandia | Bloggerized by Indonesia Negriku | Alim Yuandia
Kode Follower supported by Tutorial Blog
^ Scroll to Top